free web page counters

Pesona dan Sejarah Kampung Adat Matabesi

Sedang Trending 1 bulan yang lalu

Kampung adat matabesi terletak di wilayah Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Kampung yang masih mewarisi tradisi leluhur ini tepat berada di kaki bukit lidak, yang merupakan saksi bisu peperangan yang dahulu kala sering terjadi untuk mempertahankan Kerajaan Lidak. Matabesi atau mak ta besi merupakan julukan untuk barisan panglima yang dipercaya khusus oleh Raja Lidak untuk berperang.

Berada di Desa Umanen, Kabupaten Belu, lokasi kampung adat Matabesi tidak sulit untuk dijangkau karena tak jauh dari Kota Atambua. Jika ditempuh dengan sepeda centrifugal atau mobil, maka hanya membutuhkan 5 – 10 menit perjalanan dari pusat kota.

Histori Matabesi

Keunikan dari kampung adat matabesi adalah berisi rumah-rumah adat beratapkan alang-alang, sehingga menjadi miniatur tradisi purba yang ada di tengah-tengah wilayah kota. Diceritakan bahwa di kampung adat inilah, dahulu kala tinggal para panglima perang atau dalam bahasa setempat disebut meo.

Kampung adat Matabesi yang memiliki 12 rumah adat, sebetulnya merupakan representasi dari 12 suku antara lain, Uma Fuk Matabesi, Uma Bei Hale Matabesi, Uma Bei Bere Matabesi, Uma Meo Matabesi, Uma Kakaluk, Uma Bei Asa, Uma Mahein Lulik, Uma Lokes Matabesi, Uma Manehat Matabesi, Uma Ba,a Matabesi, Matabesi Uma Kiik dan Uma Mane Ikun Matabesi. Lima rumah suku terakhir saat ini secara fisik tidak ada di Kampung Adat Matabesi. Isitilah uma adalah sebutan dalam bahasa setempat untuk rumah.

Setiap rumah adat memiliki fungsi berbeda-beda. Diantaranya adalah Uma Meo atau rumah prajurit. Dahulu kala Uma Meo dihuni oleh para prajurit yang siap untuk bertempur. Hal ini ditunjukkan juga dengan banyaknya tulang belulang hewan lambang keperkasaan prajurit saat berburu tergantung di Uma Meo. Selain itu juga terdapat Ai Toos  lambang kejantanan pria sebagai simbol keperkasaan dalam diri seorang prajurit. Dan makam prajurit Rate Meo Sibero yang terdapat di samping Uma Meo.

Selain itu juga terdapat Uma Kakaluk. Rumah adat ini dipercaya menjadi sumber kekuatan bagi kampung adat Matabesi. Dahulu kala, semua ritual prajurit yang akan berperang dilakukan di rumah ini termasuk penyembuhan terhadap luka prajurit akibat berperang.

Di kampung adat matabesi ada salah satu peraturan atau pantangan yang diberlakukan pada wanita yang sudah menikah namun belum lunas belis atau mahar  tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan tengah, dan hanya diperbolehkan masuk dan tinggal di ruangan belakang (dapur).

Mengingat fungsi rumah adat tersebut, maka dalam pendiriannya yaitu mulai dari awal sampai selesai pendirian rumah selalu diikuti dengan upacara sirih pinang, potong ayam, babi, kerbau, untuk memberikan agungan pada rumah adat.

Napak Tilas Lokasi Sakral di Kampung Matabesi

Sebagaimana kampung tua lainnya, kampung adat matabesi memiliki beberapa area yang disakralkan. Pengunjung yang datang dalam rombongan dan telah menginformasikan sebelumnya kepada penjaga kampung matabesi maka akan disambut dengan ritual-ritual secara adat.

Pertama datang kesana, pengunjung akan disambut dengan budaya hase hawaka atau ungkapan dalam bentuk pantun adat untuk menyambut kedatangan tamu yang telah datang sampai di pintu gerbang utama We Bot (Air Besar) atau sumur utama. Sumur ini tidak pernah kering walau musim kemarau panjang sekalipun. Bagi suku Matabesi, sumur We Bot berperan sebagai wadah suci sekaligus sarana penyembuhan. Air dari sumur We Bot dipercikkan sebagai simbol berkat baik kepada klan suku maupun tamu yang datang.

Selanjutnya akan ada ritual penyembelihan ayam dimana ayam yang dipilih pun bukan sembarang warna melainkan warna hitam. Hal ini dipercaya akan memberikan persembahan dengan kualitas ayam terbaik kepada leluhur mendatangkan rezeki berlimpah.

Mengunjungi kampung adat matabesi, pengunjung juga akan dituntun untuk melihat langsung sekaligus mendapat penjelasan tentang benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang yang adai di suku Matabesi. Benda-benda pusaka itu antara lain pedang/kelewang sakti, tombak/lembing sakti yang dulunya dipakai para meo (panglima perang) berperang melawan musuh saat terjadi perang antar suku.

Di kampung ini, pengunjung juga akan berziarah ke makam salah satu meo yang terletak persis di samping Uma Meo yang kini dijaga oleh anggota suku bernama Blasius Fehan bersama keluarga. Makam Meo bernama Lau Saberu ini berupa susunan batu besar. Menurut cerita, Meo Lau Saberu adalah panglima perang dalam perang Manututu (sekarang masuk wilayah Timor Leste). Tak diketahui perang itu terjadi pada tahun berapa dan perang melawan siapa. nan jelas, kisah ini telah menjadi cerita yang secara turun-temurun diwariskan kepada setiap anak cucu di dalam Suku Matabesi.

Masih ada tempat lainnya yang menarik untuk dikunjungi di kampung ini yakni gua-gua batu di kaki bukit batu Sumeta yang pada jaman dahulu menjadi tempat persembunyian warga suku Matabesi ketika ada serangan serdadu Belanda. Menurut ceritra, Bukit Batu Sumeta yang terletak persis di arah barat kampung ini merupakan satu dari tiga bukit batu yang melambangkan tiga kerajaan di Timor Loro Sae (Timor Leste). Tiga bukit batu dimaksud yakni Bukit Batu Sumeta, Roofau dan Kaku’a.

Di Bukit batu Kaku’a yang terletak di sisi timur kampung ini terdapat salah satu titik yang bisa menjadi daya tarik wisata yakni tempat jatuhnya bom milik serdadu Belanda. Tempat jatuhnya bom berupa cekungan tanah masih terlihat.

Bukit batu ini juga disebut sebagai rumah madu (Wani Uman) karena banyak lebah bersarang di dinding batu ini. Pada waktu tertentu, warga sekitar datang memanen madu di bukit batu ini. Meski dindingnya terjal dengan kemiringan mencapai 180 derajat, warga berani memanjat untuk memanen madu. Tampaknya, bukti batu ini cocok juga untuk olahraga panjat tebing.